Anomali Stephen Hawking

wordfans
3 min readOct 8, 2021
sumber: behance

Jika teori relativitas diformulasikan oleh Albert Einstein — sosok yang menjadi ikon manusia jenius, maka Stephen Hawking rasanya pantas untuk diapresiasi lantaran telah mengajarkan kita soal relativitas (tanpa penjelasan njlimet dan teori fisika yang memusingkan itu).

Sederhana saja, Hawking yang pada usia 21 tahun didiagnosa menderita ALS atau Lou Gehrig’s disease kemudian hampir mengalami kelumpuhan total di sekujur tubuhnya hingga akhir hayatnya. Namun ia tak patah arang, meski hanya bisa meringkuk di kursi roda dan cuma dapat berbicara via alat bernama Speech Synthesizers Calltext 5010 (lantaran kemampuannya berbicara hilang secara permanen akibat operasi yang gagal). Singkat cerita, gagasan-gagasannya lantas mendunia dan salah satu bukunya — A Brief History of Time masuk jadi salah satu buku terlaris sepanjang masa.

Dan kaitannya dengan relativitas? Ya, ini sekedar opini pribadi penulis soal Hawking. Hawking menolak tunduk pada disabilitas. Dengan begitu dia mempersepsikan dirinya “normal” sehingga dapat terus produktif berkat kegigihan dan keuletannya menyiasati kekurangan. Oleh karenanya terma normal/disabilitas menjadi sesuatu yang relatif. Kadar relativitasnya mengacu pada bagaimana kita mempersepsikan sesuatu — entah dengan bungkus positif atau malah justru negatif.

Alhasil, bila relativitas macam ini dapat kita terapkan ke dalam hidup sehari-hari maka bakal jadi suatu pedoman hidup baru: relativitasisme/Hawkingisme. Toh, Hawking saja sukses menerapkan falsafah tersebut dalam hidupnya (yang semula diasumsikan dokter bakal hanya berumur 23 tahun namun berhasil bertahan hidup hingga ajal menjemputnya pada usia 76 tahun).

Agaknya sedikit anomali memang yang diperbuat oleh Hawking. Namun demikian Hawking memiliki kapabilitas untuk melakukan hal tersebut — bekal intelijensia yang ia miliki. Ini tak terlepas dari ucapannya soal: “Intelligence is the ability to adapt to change”. Maka tak heran ketika ia mesti mengalami perubahan yang amat sangat krusial dalam hidupnya, dia tetap adaptif lantaran diberkahi tingkat intelijensia tinggi untuk menciptakan anomali, dan membuat suatu yang normal dilakukan menjadi terbilang relatif sifatnya.

Bahkan saking menariknya, anomali yang dilakukan Hawking seakan mematahkan adagium latin paling terkenal: “Mens sana in corpore sano” (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). Ya, meski dianugerahi penyakit yang tak bisa disembuhkan, namun nyatanya jiwa Hawking (kalau saja ia mempercayai soal jiwa) tetap saja kuat — dan bisa seproduktif orang normal. Oleh karenanya tidak melulu tubuh yang sakit bakal mereduksi kemampuan kita sepenuhnya, meski di satu sisi kesehatan juga mesti penting untuk dijaga. Semuanya tergantung kembali pada penerapan teori relativitasisme (bualan penulis). Pasalnya, jika kita mengandalkan intelijensia yang kita miliki (walau tak sepandai Hawking), kita tetap bisa hidup “adaptif” di tengah situasi yang dinamis.

Sebagai penutup, penulis akan menyadur perkataan Rene Descartes, “I Think Therefore I am” yang artinya: aku berpikir maka aku ada. Secara eksplisit Descartes hendak menunjukkan bahwa satu-satunya yang pasti adalah keberadaan kita di dunia ini. Dengan dilengkapi dengan relativitasisme-nya Hawking, maka bekal intelijensia yang kita miliki berguna untuk mengkonfirmasikan sesuatu yang pasti (keberadaan kita di dunia ini) lewat pembuktian berupa adaptasi kita sebagai human being yang notabenenya bersifat relatif (tergantung pemaknaan kita terkait segala sesuatunya).

--

--