Antara Squid Game, Nietszche dan Suratan Takdir

wordfans
2 min readOct 18, 2021

Sehabis membaca buku Eric Weiner yang berjudul “The Socrates Express”. Aku jadi sedikit hendak berkontemplasi. Ini soal bagaimana Weiner menukil gagasan Nietszche mengenai “Eternal Reccurence” yang kesohor itu. Poin pokok yang disadur dari konsep tersebut adalah sebuah pertanyaan yang cukup sulit kita temukan jawabannya (pada sebagian besar orang), yakni: “apakah kita berkenan untuk mengulangi hidup kita sesuai dengan alur kisah yang telah, sedang dan akan kita jalani dalam siklus tak berujung?”

Mengenai itu Nietszche juga menambah beberapa aturan atau variabel penyerta bagi pertanyaan tersebut. Konsep “Eternal Recurrence” akan memposisikan kita untuk mengulangi setiap kejadian (entah itu pahit atau manis) dalam satu paket komplit.

Manusia umumnya hanya ingin merasakan kebahagiaan secara berulang tanpa mesti merasa kesusahpayahan. Sehingga kecenderungan untuk menerima konsep “Eternal Recurrence” bakal cukup kecil rasanya. Toh, bagi kebanyakan orang, hidup cuma sekali saja mesti kita jalani di dunia fana ini (walau ada konsep soal reinkarnasi, tapi sejatinya itu menunjukkan bahwa kita hidup di dunia berkali-kali dengan tubuh dan alur kisah yang berbeda, sedangkan “Eternal Recurrence” berbicara soal jiwa dan tubuh sama akan hidup mengikuti alur kisah yang serupa secara berulang-ulang). Oleh karenanya jika kita berprinsipkan pada konsep-nya Nietszche, maka kita pun pada dasarnya hanya hidup “sekali” di dunia ini tanpa diberi kesempatan untuk mengubah (dalam perspektif pengamat atau dari sudut pandang yang sudah berjalan selama ini).

Beberapa waktu belakangan sedang viral tentang serial TV Netflix: Squid Game. Mengisahkan sekumpulan orang yang saling bersaing dalam permainan adu nasib demi mengharap agar bisa memenangkan hadiah uang dengan nominal banyak. Hadiah ini tentunya dapat mereka gunakan untuk mengubah hidup mereka yang semula sial, nahas, buruk menjadi lebih baik.

Bertolakbelakang dari apa yang diutarakan Nietszche soal “Eternal Recurrence”, nyatanya kita hidup cuma sekali di dunia asli maupun Squid Game sehingga segala apa yang terjadi tak dapat kita ulangi lantaran mustahil untuk memutar kembali waktu. Namun demikian, rupanya kita masih memiliki kesempatan untuk bertaruh, mempertaruhkan apa-apa saja yang penting bagi kita dalam sebuah permainan imajiner, meski dengan konsekuensi bila gagal mesti siap meregang nyawa walau di satu sisi imbalan hadiahnya pun sangat banyak.

Di situlah adrenalin kita dipertentangkan. Pilihannya hidup di luar sana sembari menanggung derita atau mati di permainan (yang mungkin saja kita masih hidup jika memenangkan keseluruhan game-nya).

Jika kita kembali ke falsafahnya Nietszche, maka kita mesti menyikapi segala kemungkinan yang bakal terjadi dengan kepala dingin. Misalnya saja “Eternal Recurrence” benar-benar terjadi, toh kita bisa menapaktilasi hidup kita lewat analogi Squid Game. Lupakan risiko yang mungkin akan menghampiri. Paling tidak kita telah mencoba meraih kesenangan dan kemujuran yang dalam “Eternal Recurrence” ingin kita ulangi selamanya tanpa putus. Toh opsi lain juga tinggal menyesal atau mati yang dalam “Eternal Recurrence” akan kita alami pula secara terus menerus. Dan disinilah bergunanya konsep Nietszche dalam keseharian hidup manusia: menghargai proses yang membawa kita pada nasib baik atau buruk, karena sesuai ungkapannya: Fatum Brutum Amor Fati à cintailah takdir meski buruk adanya.

--

--