Potret Manusia Modern dalam Bebatan Simulakra Indrawi dan Implikasinya di Kemudian Hari…

wordfans
5 min readSep 15, 2022

“Teknologi adalah candu”, tutur seseorang yang coba merevisi ucapan Marx suatu waktu pada saat mengkritisi keberadaan agama selaku candu manusia abad ke-19

Manusia masa kini tengah berada di era yang dinamakan sebagai “The Experience Age”. Setelah menjalani masa hidup dalam zaman “Information Age” yang ditandai dengan kemudahan persebaran informasi, lantas berkat kecanggihan teknologi yang melampaui batas-batas konvensional memungkinkan manusia kini mampu untuk “merasakan” segala hal, dengan model extended reality atau perpanjangan realitas.

Manusia yang pada dasarnya memang tak ingin ketinggalan mencoba moda-moda terbaru yang disajikan oleh perkembangan peradaban dari waktu ke waktu, tentu dimanjakan ketika mereka bisa mengetahui segala hal dalam “Information Age” dahulu — dengan suplai terhadap akses informasi yang nihil batasan.

Lantas bagaimana jadinya ketika manusia dihadapkan pada banyaknya kesempatan untuk menjajal perpanjangan realitas atau extended reality yang dibawa oleh teknologi digital?

“Dunia” baru muncul dalam wujud simulakra — yakni dunia maya. Ia dikonstruksikan dengan mengakomodasi indera pendengaran serta penglihatan untuk merasakan sensasi bertamasya ke dunia fantasi yang marak diisi kesenangan instan atau dalam hal ini, tidak dapat dirasakan secara riil.

Ruang-ruang untuk bersosialisasi kemudian muncul dalam “dunia” baru yang mengelilingi kita saat ini. Beragam jenis media sosial pun muncul seraya menawarkan diri sebagai perpanjangan tangan manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya.

Watak media sosial sebenarnya belum kita ketahui secara gamblang. Ada yang berkata ia memudahkan manusia dan hanya bertindak sebagai alat, namun di satu sisi terkadang malah kita yang justru bergantung dengannya karena “candu” kesenangan yang ia tawarkan.

Bila Marx berkata “Agama adalah candu” yang membikin manusia-manusia abad ke-19 terjerumus pada dogma-dogma utopis, dan menjadikan manusia-manusia tersebut abai terhadap perjuangan kelas yang semestinya mereka upayakan dalam menentang eksploitasi oleh para pemilik modal, rasanya penulis ingin menawarkan alternatif pandangan.

“Teknologi adalah candu” — adalah fatwa yang tepat dalam me-recapture fenomena sosial di masa sekarang. Teknologi membawakan sensasi surgawi — tentunya sangat digandrungi bagi mereka yang jengah terhadap kesulitan hidup di dunia fana ini. Bila tidak dimaknai secara bijak dalam hal penggunaannya, maka sifat universal dalam teknologi bisa tak karuan menimbulkan dampak yang tidak dapat kita sadari bersama.

Sebab lingkup jangkauan teknologi bisa jadi mampu melampaui apa yang bisa dilakukan oleh agama itu sendiri dengan mekanisme penuhanan pada sesuatu yang sama-sama gaib. Bedanya kini, kombinasi gaya hidup sekuler dan kapitalisme telah memojokkan manusia pada hidup yang tak melulu religius, namun justru selalu ambisius mengikuti perkembangan zaman maupun teknologi karena manusia adalah makhluk yang pada dasarnya tidak ingin tampak tertinggal dibanding sesamanya.

Selalu ada added values yang diupayakan oleh manusia-manusia sekarang meski hasil yang dicapai mungkin berbeda-beda. Dan media sosial setidaknya menjadi ladang percontohan hal tersebut.

Dalam contoh kasus paling mudah, manusia — khususnya yang berada pada strata menengah ke bawah atau mereka yang hidupnya monoton dan kurang beruntung dalam standardisasi capaian materialistik, menjadi lebih sering menikmati sajian kemewahan, pencapaian, atau prestasi yang ditampilkan oleh manusia lain. Tentu terdapat normalisasi akan hal ini, karena tiap-tiap manusia hanya sekedar menumpangi arus utama yang ada, dan tidak bersikap abnormal dengan menjaga jarak pada segala sesuatu bersifat praktis.

Memang terjadi dilema tatkala membicarakan soal “mengapa manusia jadi gandrung untuk membagikan apa yang ia tengah alami, jalani dan rasakan kepada manusia lain?”. Sebab hal itu wajar saja terjadi bila merunut pada perkembangan zaman yang sudah menginjak “The Experience Age” dewasa ini.

Namun rupanya justru saat kita dihadapkan pada anjuran menormalisasi keadaan yang ada, ternyata malah timbul semacam anomali yang tidak bisa dibenarkan jikalau ini terjadi di masa lalu — yakni tendensi untuk mencari validasi dari sesama manusia. Buah eksploitasi sisi psikologis manusia selaku makhluk sosial lewat besarnya disrupsi media sosial dalam mengalternasikan laku interaksi konvensional.

Tendensi untuk mencari validasi inilah yang menjadi pangkal mengapa manusia berupaya menggapai added values sebanyak-banyaknya bagi kepentingan dirinya sendiri.

Ironisnya, kecenderungan mencapai added values ini seringkali bersifat semu jika menilik realitas sosial pada konteks manusia Indonesia, pun apabila lebih dispesifikkan yang mengarah pada koridor materialistik.

Maksudnya kecenderungan mencapai added values tidak berbanding lurus dengan tingginya tingkat produktivitas manusia yang diukur dengan satuan materiil. Berdasarkan dari data, tingkat kemiskinan di Indonesia cukuplah konstan. Dan apabila merujuk pada taraf kelas menengah yang juga kerap terekspos oleh penggunaan teknologi, rasanya tak ayal jika kita patut mempertanyakan kembali pernyataan retoris yang coba menggarisbawahi keterhubungan antara keharusan menggapai added values dengan penambahan materi. Namun begitu, variabel yang dipakai untuk menjelaskan fenomena kemiskinan disini hanya berfokus pada proyeksi kapabilitas seorang manusia dalam meningkatkan taraf hidupnya — terlepas apapun struktur sistemik yang meliputi.

Sebab tak dapat dipungkiri bila kondisi seperti sekarang terus menerus dibiarkan, maka manusia yang sudah terlanjur terbuai dengan iming-iming manis berupa kesenangan instan dalam media sosial, tak dapat lagi mengarahkan keberniatannya untuk mencari added values dengan maksud positif.

Jalur-jalur yang ditempuh bukanlah jalur-jalur riil, yang mencerminkan kesungguhan realita manusia tersebut selama menjalani hidupnya. Melainkan lebih kepada menjalani hidup dalam selubung keberpura-puraan. Pura-pura bisa menggapai added values agar seorang manusia dapat tervalidasi oleh sesamanya demi kepuasan batiniah belaka.

Contoh konkret praktik menggapai added values dalam selubung keberpura-puraan, adalah dengan upaya mengimitasi gaya hidup pemberi pengaruh (influencer) di media sosial yang ternyata buruk secara parsial untuk diikuti.

Misalnya saja dengan menjamurnya praktik pinjaman online, dan beragam moda pembayaran macam paylater yang sebab musababnya distimulus oleh kemudahan dalam menggunakan teknologi dan perkembangannya yang makin canggih.

Esensi praktik hutang-piutang yang memang didasarkan pada mulanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari manusia yang terkendala secara finansial, kini justru teramplifikasi maknanya ke arah pemenuhan hasrat hedonistik semata.

Contoh lain misalnya adalah dengan masifnya pengguna yang berkenan menjajal peruntungannya dalam skema judi online — yang pada dasarnya didesain untuk menguntungkan si pembuat platform judi semata. Atau bisa juga terefleksikan pada kasus-kasus investasi bodong yang menyeruak ke permukaan belakangan ini. Kedua jenis praktik ini mengeksploitasi ekspektasi manusia akan hal yang sifatnya spekulatif.

Memang tidak semua manusia serta-merta mau mengikuti gaya hidup influencer yang ada di media sosial. Namun bila ini menjamur menjadi praktik kolektif yang menghinggapi gaya hidup manusia secara holistik, maka manusia yang enggan bersikap fomo tapi kebablasan dalam menyikapinya justru dapat terseret arus.

Sebab jika sesama manusia telah mengadopsi kaidah hedonisme, maka hal termudah yang dapat dilakukan seorang individu adalah meneguhkan kembali prinsip hidup yang benar dan baik untuk dipegang.

Lantas jika memang tidak memiliki kesanggupan untuk memegang prinsip moral yang baik dan benar, maka adalah hal yang bijak bagi manusia tersebut untuk beranjak mencari added values dengan cara-cara riil yang berbanding lurus terhadap peningkatan kepemilikan materi secara pribadi.

Apabila hal tersebut tak dapat dilakukan, maka penulis mengkhawatirkan terjadinya regresi taraf hidup manusia secara material, yang diimplikasikan dengan peningkatan angka kemiskinan di Indonesia kelak di kemudian hari — hal ini sifatnya prediktif belaka yang mungkin saja benar-benar terjadi.

Sejatinya jika manusia miskin karena kapabilitas finansialnya telah diperas secara habis-habisan demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari (basic necessity), maka hal itu tak menjadi soal. Sebab disini manusia berjuang untuk terus hidup, dan tetap mempertahankan statusnya sebagai manusia secara fisik agar tak kunjung berubah menjadi jasad.

Agaknya cukup ironis ketika kemiskinan itu justru hadir lantaran manusia abai terhadap skala prioritas ekonominya yang malah condong mengutamakan kepuasan semu.

Akhir kata, manusia jadi menyalahi kodratnya sebagai manusia jika ia tidak mempergunakan kapabilitas materialnya — pertama-tama secara esensial untuk menyokong hidupnya sendiri demi mempertahankan statusnya sebagai manusia (bukan mendiang).

Lantas jika manusia sendiri tengah terbebat oleh jerat ilusi simulakra kehidupan lewat perpanjangan realitas (extended reality) pada media sosial, apakah nantinya manusia mampu untuk terus menjalani realita kehidupan secara riil yang kompleks dan penuh tantangan di dunia fana ini?

--

--